Pengertian
Definisi Korupsi menurut Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang
menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di
bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma,
tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan,
penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh
masyarakat.
Korupsi menurut wikipedia perilaku
pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.
“ Korupsi
menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”
Definisi korupsi bahasa
Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku
pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.
Dari sudut pandang hukum,
tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
1.
perbuatan
melawan hukum;
2.
penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana;
3.
memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
4.
merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara;
5.
Selain
itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
6.
memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
7.
penggelapan
dalam jabatan;
8.
pemerasan
dalam jabatan;
9.
ikut
serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
10. menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
Kasus :
Suap di Kementerian Pemuda
dan Olahraga (Kemenpora) serta Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans)
adalah fakta yang tidak terbantahkan. Di Kemenpora yang dikomandoi Andi
Mallarangeng, sekretaris Menpora Wafid Muharam dan dua pengusaha kontraktor
proyek tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap
sebesar Rp3,2 miliar terkait proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games Palembang.
Sedangkan di Kemenakertrans yang dipimpin Muhaimin Iskandar, KPK menangkap dua
pejabatnya dan pengusaha yang menyuap sebesar Rp1.5 miliar dalam “kardus duren”
untuk proyek Percepatan dan Pembangunan Infrastruktur Daerah Tertinggal.
Terkuaknya misteri mafia
anggaran ini harus terus ditongkrongi, jangan sampai hanya yang tertangkap
tangan saja yang dijadikan korban. KPK harus berani mencolek pucuk pimpinan
kementerian itu yang kemungkinan terlibat. Sebab tidak masuk akal kalau
manajemen pengolaan proyek, terlebih pengaturan anggarannya tidak diketahui
atau direstui pucuk pimpinan. Apalagi dari kedua kasus itu, nama kedua menteri
itu disebut-sebut oleh para tersangka ikut terlibat dalam menerima suap atau
setidaknya mengatur proyek (Republika,15/9/2011).
Ternyata semuanya bermuara
pada Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyusun dan
mengontrol kebijakan anggaran negara. Seperti nyanyian Nazaruddin, anggota
fraksi yang ditempatkan di Banggar mengakali dana proyek dengan melibatkan kementerian
dan pengusaha yang sebelumnya sudah didesain akan memenangkan tender. Di
sinilah menurut Nazaruddin, oknum anggota Banggar menerima fee atas kerjanya
menyusun aliansi strategis untuk memuluskan permainan anggaran.
Dugaan suap di kedua
kementerian harus menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menguak mafia di Banggar
DPR. Mafia anggaran melalui permainan fee proyek yang diduga melibatkan anggota
DPR sudah menjadi opini publik, yang harus dibuat terang agar misa menjadi
fakta hukum. Lebih dari itu, akar persoalan juga perlu diapresiasi akibat
konsekuensi dari UUD 1945 yang memberi peran dominan kepada DPR. Betapa tidak,
DPR bergitu dominan dalam penentuan proyek-proyek pemerintah yang membuka
peluang terjadinya korupsi.
Realitas memberikan
indikasi, bahwa konteks masalah bukan lagi pada fungsi pengawasan dalam
mekanisme “check and balances”, tetapi sudah masuk pada ranah pelaksanaan dari
rencana proyek yang disodorkan pemerintah. Hak anggaran (bujet) yang dimiliki
DPR telah berubah menjadi hak untuk korupsi. Makanya, dorongan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) agar UUD 1945 perlu dilakukan perubahan kelima menjadi niscaya,
terutama memberikan ruang yang sama bagi DPD dengan DPR dalam fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan.
Kesimpulan
Jadi dalam etika bisnis, korupsi dapat merusak system
perusahaan atau dalam berbisnis contohnya seperti diatas.
Sumber : #Google, #Wikipedia
(Republika,15/9/2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar