Senin, 11 November 2013

Pengertian Korupsi, Etika bisnis dan Hubungan Etika Bisnis Dengan Korupsi


Pengertian Definisi Korupsi menurut Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.

           Korupsi menurut wikipedia perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

“ Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”

Definisi korupsi bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
1.      perbuatan melawan hukum;
2.      penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
3.      memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
4.      merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5.      Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
6.      memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
7.      penggelapan dalam jabatan;
8.      pemerasan dalam jabatan;
9.      ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
10.  menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Kasus  :
Suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) serta Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) adalah fakta yang tidak terbantahkan. Di Kemenpora yang dikomandoi Andi Mallarangeng, sekretaris Menpora Wafid Muharam dan dua pengusaha kontraktor proyek tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap sebesar Rp3,2 miliar terkait proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games Palembang. Sedangkan di Kemenakertrans yang dipimpin Muhaimin Iskandar, KPK menangkap dua pejabatnya dan pengusaha yang menyuap sebesar Rp1.5 miliar dalam “kardus duren” untuk proyek Percepatan dan Pembangunan Infrastruktur Daerah Tertinggal.

Terkuaknya misteri mafia anggaran ini harus terus ditongkrongi, jangan sampai hanya yang tertangkap tangan saja yang dijadikan korban. KPK harus berani mencolek pucuk pimpinan kementerian itu yang kemungkinan terlibat. Sebab tidak masuk akal kalau manajemen pengolaan proyek, terlebih pengaturan anggarannya tidak diketahui atau direstui pucuk pimpinan. Apalagi dari kedua kasus itu, nama kedua menteri itu disebut-sebut oleh para tersangka ikut terlibat dalam menerima suap atau setidaknya mengatur proyek (Republika,15/9/2011).

Ternyata semuanya bermuara pada Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyusun dan mengontrol kebijakan anggaran negara. Seperti nyanyian Nazaruddin, anggota fraksi yang ditempatkan di Banggar mengakali dana proyek dengan melibatkan kementerian dan pengusaha yang sebelumnya sudah didesain akan memenangkan tender. Di sinilah menurut Nazaruddin, oknum anggota Banggar menerima fee atas kerjanya menyusun aliansi strategis untuk memuluskan permainan anggaran.

Dugaan suap di kedua kementerian harus menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menguak mafia di Banggar DPR. Mafia anggaran melalui permainan fee proyek yang diduga melibatkan anggota DPR sudah menjadi opini publik, yang harus dibuat terang agar misa menjadi fakta hukum. Lebih dari itu, akar persoalan juga perlu diapresiasi akibat konsekuensi dari UUD 1945 yang memberi peran dominan kepada DPR. Betapa tidak, DPR bergitu dominan dalam penentuan proyek-proyek pemerintah yang membuka peluang terjadinya korupsi.

Realitas memberikan indikasi, bahwa konteks masalah bukan lagi pada fungsi pengawasan dalam mekanisme “check and balances”, tetapi sudah masuk pada ranah pelaksanaan dari rencana proyek yang disodorkan pemerintah. Hak anggaran (bujet) yang dimiliki DPR telah berubah menjadi hak untuk korupsi. Makanya, dorongan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar UUD 1945 perlu dilakukan perubahan kelima menjadi niscaya, terutama memberikan ruang yang sama bagi DPD dengan DPR dalam fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Kesimpulan
Jadi dalam etika bisnis, korupsi dapat merusak system perusahaan atau dalam berbisnis contohnya seperti diatas.


Sumber : #Google, #Wikipedia
(Republika,15/9/2011).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar